Sabtu, 31 Mei 2014

Arsitektur Selaku Cermin Sikap Hidup


Arsitektur kuno tidak hanya berpedoman bahwa bangunan didirikan berdasarkan atas alasan gaib, mistis, atau magis belaka, mereka juga menganalisa realita dan penanganan praktis permasalahan permukiman serta bangunan-bangunan.  Salah satu contohnya yaitu tata bangunan istana atau rumah penduduk di Jawa Tengah.  Susunan ruang rumah adat Jawa yang terdiri dari Pelataran (njaba), Pendopo (Siti Hinggil), Pringgitan (Seketeng), dan Dalem (Petanen) tersebut menunjukkan susunan dan tata arsitektur yang tinggi dan dalam nilai budayanya.  Pengertian praktis antara ruang dalam dan luar, keintiman tertutup keluarga dan keterbukaan bermasyarakat memperoleh kesatuan yang harmonis.  Hal itu ditunjukkan dengan susunan ruang dalem sebagai alam sakral dan pendopo sebagai dunia profan, yang dipisahkan oleh pringgitan.  Sehingga dalam berarsitektur yang ditunjukkan di atas memiliki citarasa kebudayaan ruang, tata suasana, serta inti berarsitektur yaitu menciptakan suasana.

Rumah Joglo


Pendopo

Dalem

Contoh lain yaitu sistem rumah panggung yang mencerminkan penyelesaian masalah terhadap keadaan alam yang tinggi.  Pertama, ia sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan serangan binatang-binatang yang mengganggu.  Kedua, dari fisika bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap kelembaban tropika yang amat ganas dan membusukkan bangunan.  Apalagi di daerah-daerah banjir yang tidak pernah henti.  Selain itu, rumah panggung juga kebal terhadap gempa bumi.

Rumah panggung Kalimantan.  Tembus pandang di bawah panggung.

Rumah panggung di negeri Batak.  Terdapat keserasian antara rumah-rumah sebagai wilayah intim keluarga dengan pelataran kampung sebagai ruang saling berkomunikasi.

Hikmah rumah panggung juga sangat dipahami oleh orang Barat.  Mereka menemukan akal untuk menyelamatkan dan menemukan kembali nilai-nilai persahabatan dengan alam, karena dengan sistem rumah panggung permukaan bumi tidak hanya diduduki oleh massa-massa bangunan yang membuat bumi menjadi sempit, pengap dan menyedihkan.  Maka prinsip rumah panggung perlu kita panggil kembali dalam arsitektur Indonesia, dengan memanfaatkan hikmah serta keuntungan-keuntungan fisik serta teknisnya, dan sekaligus memodernkan arsitektur Indonesia dalam kerangka kepribadian bangsa.

Rumah panggung dalam wujud modern

Gedung Bank di Jakarta yang dibangun oleh Belanda pada hakikatnya berkiblat pada rumah panggung juga

Oleh karena itu, kita tidak hanyut begitu saja dalam dunia Barat, tetapi juga mengolah secara sadar dan mendalam segala sesuatu yang datang, khususnya dalam berarsitektur.  Banyak yang dapat kita pelajari dari harta pengalaman serta refleksi serba metodis manusia Barat.  Namun sebelum itu, kita hendaknya belajar dulu dari warisan berharga yang telah memperkaya budaya bangsa Indonesia, yang dampaknya sampai hari ini masih sangat terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar